Sengketa wilayah banyak terjadi, tak terkecuali sengketa yang terjadi antara Jepang dan Korea Selatan. Gugusan pulau karang yang oleh Korea Selatan disebut sebagai Pulau Dokdo/Takeshima sedangkan oleh Jepang disebut dengan Pulau Takeshima adalah sengketa yang muncul sejak akhir Perang Dunia II. Jepang dan Korea Selatan yang semula memiliki hubungan harmonis, harus menghadapi kenyataan semakin memburuknya hubungan tersebut saat sengketa Pulau Dokdo/Takeshima kembali mencuat. Sengketa perebutan ini sudah sejak lama terjadi, yaitu dimulai pada tahun 1905 hingga saat ini.
Jepang mengklaim bahwa Pulau Dokdo/Takeshima adalah wilayah negaranya.
Jepang mengklaim bahwa Pulau Dokdo/Takeshima sebagai bagian dari wilayahnya
berdasarkan pada Pasal 2 Perjanjian San Francisco 1951 yang menyatakan bahwa:
“Jepang mengakui Kemerdekaan Korea, dan melepaskan semua hak, kepemilikan dan klaim atas Korea, termasuk Pulau Quelpart, Port Hamilton dan Dagelet”
“Jepang mengakui Kemerdekaan Korea, dan melepaskan semua hak, kepemilikan dan klaim atas Korea, termasuk Pulau Quelpart, Port Hamilton dan Dagelet”
Berdasarkan isi Pasal 2 tersebut, Jepang berpendapat bahwa Jepang hanya mengakui
kemerdekaan Korea, sedangkan kewajiban untuk mengembalikan Pulau Dokdo/Takeshima
kepada Korea tidak disebutkan dalam perjanjian tersebut (Kazuo, 1997 : 477). Klaim
tersebut mendapat bantahan dari Korea Selatan yang juga memiliki dasar klaim
atas Pulau Dokdo/Takeshima. Klaim Korea Selatan berdasarkan pada fakta sejarah
yang ada. Korea Selatan mengklaim bahwa Pulau Dokdo/Takeshima berada di bawah
kedaulatannya berdasar pada acuan historis yang dikutip dalam beberapa dokumentasi
pemerintah Korea Selatan, yang menyatakan bahwa Dokdo/Takeshima pada awalnya
merupakan suatu wilayah yang tidak ada
pemilik yang dinamakan Ussankuk dan telah bersatu dengan Korea Selatan pada
masa Dinasti Shilla pada tahun 512 SM (Hoon : 389)
Sengketa tersebut mengakibatkan Korea Selatan siap putus hubungan
diplomatik dengan Jepang, penarikan duta besar mereka dari Jepang maupun Korea
Selatan, dan yang paling membahayakan adalah buku-buku pendidikan di Jepang
maupun Korea Selatan yang sama-sama mengklaim pulau Dokdo/takeshima adalah
wilayah teritorialnya. Konflik antara Jepang dan Korea Selatan bahkan sampai
jauh ke arah kekerasan yang hal tersebut bisa dilihat dari adanya kekerasan
yang dilakukan oleh pihak Jepang maupun Korea Selatan terhadap masyarakat yang
melakukan aksi pembelaan terhadap negaranya demi mendapatkan Pulau
Dokdo/Takeshima ini. Sengketa antara Jepang dan Korea Selatan ini semakin
membahayakan bagi dunia khususnya keamanan masyarakat Asia Timur.
Pada dasarnya tujuan nasional yang hendak dicapai oleh suatu negara
didasarkan oleh kepentingan-kepentingan negaranya yang disebut sebagai national interest. Negara menetapkan
kepentingan-kepentingan nasionalnya dan menentukan cara bagaimana kepentingan
tersebut tercapai. Metode dan tindakan yang digunakan untuk mencapai
kepentingan nasional disebut sebagai kebijakan nasional. Konsep dan teori yang
digunakan menganalisis kebijakan Jepang dan Korea Selatan terkait sengketa
pulau Dokdo/Takeshima dari konsep national interest dan konsep kebijakan. Kepentingan
nasional dibagi 4 jenis, yaitu: (1) kepentingan pertahanan, yaitu kepentingan
negara untuk melindungi warga negaranya, wilayah dan sistem politiknya dari
ancaman negara lain, (2) kepentingan ekonomi, yaitu kepentingan pemerintah
untuk meningkatkan perekonomian negara melalui hubungan ekonomi dengan negara
lain, (3) kepentingan tata internasional, yaitu kepentingan untuk mewujudkan
atau mempertahankan sistem politik dan ekonomi internasional yang menguntungkan
bagi negaranya, (4) kepentingan
ideologi, yaitu kepentingan untuk mempertahankan ideologi negaranya dari ancaman
atau perlindungan dan kemajuan nilai-nilai sehingga penduduk suatu negara
mengambil bagian dan percaya menjadi kebaikan universal (Donald, 1979 : 75-76)
Dan terdapat dua faktor internal dalam pengambilan kebijakan luar negeri
yakni sumber sosial (perkembangan perekonomian, budaya dan sejarah, struktur
sosial, dan pembentukan opini publik) dan sumber pemerintahan
(pertanggungjawaban politik dan struktur pemerintahan). (James, 1987)
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa ada pengaruh dari aktor perkembangan perekonomian serta budaya dan sejarah dalam kasus Dokdo/Takeshima ini. Sejarah yang dimaksud yakni pengaruh sengketa Pulau Dokdo/Takeshima telah membawa dampak terutama pada pencitraan buruk atas Jepang maupun Korea Selatan khususnya di Asia Timur yang dianggap telah melakukan distorsi sejarah di kawasan. Kemudian dalam faktor eksternalnya terdapat faktor geografi serta ekonomi.
Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa ada pengaruh dari aktor perkembangan perekonomian serta budaya dan sejarah dalam kasus Dokdo/Takeshima ini. Sejarah yang dimaksud yakni pengaruh sengketa Pulau Dokdo/Takeshima telah membawa dampak terutama pada pencitraan buruk atas Jepang maupun Korea Selatan khususnya di Asia Timur yang dianggap telah melakukan distorsi sejarah di kawasan. Kemudian dalam faktor eksternalnya terdapat faktor geografi serta ekonomi.
Dalam sisi ekonominya, latar
belakang terjadinya perebutan klaim antara Jepang dan Korea Selatan di dominasi
oleh kebutuhan akan pemanfaatan sumber daya laut dan gas hidrokarbon yang
terkandung didalamnya yang dianggap dapat memberikan keuntungan ekonomis bagi
setiap negara yang mengelolanya, sedangkan Pulau Dokdo/Takeshima yang memiliki
jarak sama sekitar 220 km dari samchock (kota pelabuhan di pesisir timur Korea
Selatan) dan juga memiliki jarak yang sama dengan Matsue (kota pelabuhan di
pantai barat Jepang).
Dari panjangnya sengketa ini berlangsung sebenarnya ada solusi yang bisa dilakukan untuk perdamaian antar kedua negara tersebut yaitu Jepang dan Korea selatan, solusi yang pertama adalah melakukan Joint Development Agreement yang artinya perjanjian pengembangan bersama yang dalam kasus ini maksudnya adalah kerjasama pengembangan tersebut dilaksanakan di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang mengalami tumpang tindih (overlapping). Hal ini menurut saya akan sangat membantu kedua negara tersebut khususnya dalam pengembangan deposit hidrokarbon (minyak/gas bumi). Dan yang perlu perlu diingat bahwa walaupun belum ada delimitasi zona maritim di Laut Jepang, tapi Jepang dan Korea Selatan sama-sama mempunyai kedaulatan atas wilayah Laut Jepang dimana deposit gas hidrat tersebut berada. Laut Jepang merupakan Zona Ekonomi Eksklusif kedua negara ini, sehingga apabila dilakukan pengembangan bersama, maka hal tersebut tidak bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut Internasional. Solusi yang kedua adalah penyelesaian melalui jalur diplomatik yaitu dengan cara bernegosiasi, ataupun mediasi serta konsiliasi. Walaupun Jepang dan Korea Selatan sudah melakukan beberapa kali tetapi dirasa belum maksimal karena tetap belum menemukan kesepakatan maka disarankan untuk membutuhkan pihak ketiga yang dianggap netral yang dapat menemukan opsi perdamaian dalam kasus Kepualuan Dokdo/Takeshima ini. Solusi yang ketiga adalah melalui jalur hukum. Salah satunya melalui Mahkamah Internasional. Dari beberapa sengketa wilayah yang pernah diselesaikan oleh Mahkamah Internasional, hakim mengadili sengketa wilayah biasanya mendasarkan putusannya pada prinsip penemuan , pendudukan dengan pengawasan efektif, pendudukan tanpa protes, dan konektivitas geografis. Hakim biasanya mempertimbangkan dua jenis bukti yang diajukan untuk memperkuat klaim, yaitu dokumen perjanjian dan pengawasan yang efektif (Jon, 2007 : 158)
Dari panjangnya sengketa ini berlangsung sebenarnya ada solusi yang bisa dilakukan untuk perdamaian antar kedua negara tersebut yaitu Jepang dan Korea selatan, solusi yang pertama adalah melakukan Joint Development Agreement yang artinya perjanjian pengembangan bersama yang dalam kasus ini maksudnya adalah kerjasama pengembangan tersebut dilaksanakan di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang mengalami tumpang tindih (overlapping). Hal ini menurut saya akan sangat membantu kedua negara tersebut khususnya dalam pengembangan deposit hidrokarbon (minyak/gas bumi). Dan yang perlu perlu diingat bahwa walaupun belum ada delimitasi zona maritim di Laut Jepang, tapi Jepang dan Korea Selatan sama-sama mempunyai kedaulatan atas wilayah Laut Jepang dimana deposit gas hidrat tersebut berada. Laut Jepang merupakan Zona Ekonomi Eksklusif kedua negara ini, sehingga apabila dilakukan pengembangan bersama, maka hal tersebut tidak bertentangan dengan Konvensi Hukum Laut Internasional. Solusi yang kedua adalah penyelesaian melalui jalur diplomatik yaitu dengan cara bernegosiasi, ataupun mediasi serta konsiliasi. Walaupun Jepang dan Korea Selatan sudah melakukan beberapa kali tetapi dirasa belum maksimal karena tetap belum menemukan kesepakatan maka disarankan untuk membutuhkan pihak ketiga yang dianggap netral yang dapat menemukan opsi perdamaian dalam kasus Kepualuan Dokdo/Takeshima ini. Solusi yang ketiga adalah melalui jalur hukum. Salah satunya melalui Mahkamah Internasional. Dari beberapa sengketa wilayah yang pernah diselesaikan oleh Mahkamah Internasional, hakim mengadili sengketa wilayah biasanya mendasarkan putusannya pada prinsip penemuan , pendudukan dengan pengawasan efektif, pendudukan tanpa protes, dan konektivitas geografis. Hakim biasanya mempertimbangkan dua jenis bukti yang diajukan untuk memperkuat klaim, yaitu dokumen perjanjian dan pengawasan yang efektif (Jon, 2007 : 158)
Sangat perlu bagi Pemerintah Jepang dan Korea Selatan untuk segera menyelesaikan
sengketa Pulau Dokdo/Takeshima secara damai. ini untuk menghindari
akibat-akibat terburuk yang berpeluang terjadi apabila sengketa ini tidak
segera diselesaikan. Penyelesaian sengketa ini diharapkan dapat memberikan
kepastian hukum terhadap status kepemilikan Pulau Dokdo/Takeshima dan
menetapkan batas maritim antara Jepang dan Korea Selatan di Laut Jepang.
No comments:
Post a Comment